Bukan Salah Istriku Dia Berselingkuh (Bagian 2)

Novel
0

Akhir-akhir ini Bang Sat pulang selalu larut malam, dan siang tak pernah makan di rumah lagi. Biasanya ia selalu pulang untuk makan siang dan sampai di rumah sebelum Magrib. 

Sudah pukul sembilan malam. Anak-anak sudah pada tidur, tapi Bang Sat belum juga kelihatan batang hidungnya. Kemana dia? Kucoba menghubungi ke nomornya. Namun, tidak diangkat.

Tok ... tok ... tok .... "Assalamu'alaikum!" Teriak seseorang dari luar. Mungkin itu Bang Sat.

"Wa'alaikumsalam ...," balasku sambil berjalan ke depan untuk membukakan pintu.

"Abang, sudah pulang?" sapaku.

"Lama banget sih, buka pintunya!" Ia nyelonong masuk tanpa menghiraukan pertanyaanku.

"Maaf, Bang, tadi Rianti lagi di belakang."

"Alah ... lelet! Masukin motor, abang capek, mau tidur!"

Aku mengangguk dan melaksanakan perintahnya.

"Abang sudah Salat? Salat dulu, Bang, baru tidur."

"Bawel banget sih kamu! Nggak tau suami capek!"

"Iya, Bang ... Rianti tau, tapi Salat dulu baru tidur." Aku mencoba mengingatkan suamiku untuk melakukan kewajiban lima waktu.

"Ini nih, yang bikin abang males di rumah. Ngomel terus kerjaan kamu!"

"Yaa ampuuun, Bang ... Rianti hanya mengingatkan. Salat itu wajib!"

"Ah, berisik! Jangan ribut lagi kamu, abang mau tidur. Besok pagi abang harus cepat bangun!"

Aku menghela nafas. Semakin lelah dengan tingkah lakunya.

***

"Ini sarapannya cuma telur dadar? Nggak bisa apa kamu masak yang lain? Rendang kek!" Omelnya pagi ini.

"Uangnya sudah mau habis. Kita harus berhemat. Lagian mana sanggup kita beli daging, Bang ...."

"Uang yang abang kasih ke kamu tiga ratus ribu kemarin itu mana?"

"Sudah habis, Bang ... buat bayar SPP Zidan, sudah tiga bulan nunggak."

"Halah ... memang istri nggak bisa diandelin kamu itu. Abang kasih uang buat belanja malah dipakai buat SPP!" 

"SPP Zidan itu penting, Bang ... kalau tidak dibayar nanti Zidan tidak bisa nerusin sekolahnya. Sudah beberapa kali ia ditegur oleh gurunya."

"Lama-lama abang jadi nggak betah di rumah ini!" Ia meraih kunci motor lalu pergi meninggalkanku yang masih mematung.

"Kapan kamu berubahnya, Bang ...." lirihku. Selalu menu masakan yang dipermasalahkan. Andai kamu memberiku uang lebih banyak, apa pun yang kamu inginkan bisa aku masak dan sajikan untukmu.

***

Aku tidak bisa begini terus. Bila hanya mengandalkan dari jualan online mungkin aku dan anak-anak akan kelaparan nanti karena jualanku sangat sepi sekarang. Apa yang harus aku lakukan? 

Sepertinya aku harus bekerja agar ada uang pegangan setiap harinya. Namun, apa? Ah ... benar-benar pusing! Jihan masih kecil, jika aku bekerja ia akan tinggal bersama siapa, sementara aku tidak punya sanak keluarga di sini. Kutatap gadis kecil itu.

"Jihan ... pakai sandalnya," perintahku pada putri kecilku itu.

"Kita mau kemana, Bu?"

"Ke rumah Wawak Sur, yuk ...."

"Iya, Bu."

Barang kali aku bisa mendapat informasi lowongan kerja di sana, jadi buruh cuci atau apa lah yang diupah harian.

Aku dan Jihan berjalan gontai ke rumah Kak Surti. Kebetulan ia sedang duduk-duduk di teras.

"Kak ...," sapaku.

"Mau kemana, Ri?"

"Mau ke sini," jawabku tersenyum. Lalu aku pun mendekatinya. Bercerita-cerita, basa-basi sebelum menyampaikan tujuanku. 

"Coba tanya sama Nidar, deh ... mungkin dia tahu," jawab Kak Sur setelah aku menceritakan maksudku.

"Kak Nidar istri Bang Ujang itu?"

"Iya. Dia kan sekarang udah kerja."

"Oh, ya, kerja apa Kak Nidar?" Yang aku tahu Kak Nidar seorang wanita rumahan. Tidak pernah bekerja sebelumnya.

"Asisten rumah tangga. Sejak dia sering ribut sama si Ujang dia sekarang sudah mulai bekerja."

"Oh, begitu ya, Kak?"

"Iya. Biasalah, masalah uang belanja. Tahu sendiri kan, anaknya empat. Masa si Ujang cuma ngasih uang dua puluh ribu buat belanja setiap harinya. Itu pun kadang ada kadang nggak!" tutur Kak Sur.

Aku bergeming. Ternyata ada yang senasib denganku.

"Lah, Ri ... ngomong-ngomong kamu kenapa mau kerja? Gajinya Satria kan gede, kamu juga jualan online, kan?"

Aku hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Kak Sur. Jika orang melihatku dari luar memang terlihat enak. Namun, orang tidak tahu bagaimana di dalamnya dan aku bukanlah tipe orang yang suka mengumbar kesedihan dan masalah rumah tanggaku. 

"Kak Nidar biasanya pulang jam berapa ya, Kak? Biar nanti Rianti ke rumahnya saja."

"Biasanya sih jam lima sore dia sudah pulang."

"Oh ... ya sudah, Kak, kalau begitu. Rianti permisi dulu. Terima kasih ya, Kak, infonya."

"Iya, Ri, sama-sama."

***

Aku tahu, kalau aku kerja nanti, pasti akan ada orang yang menggunjingku. Namun, biarlah ... toh aku mencari rezeki yang halal. Sambil menunggu pukul lima sore, aku menyibukkan diri dengan menyetrika pakaian yang kemarin baru aku cuci. Memang pekerjaan wanita tidak ada habisnya!

Kulihat Jihan sedang tidur lelap di depan tv sementara Zidan pamit ke rumah Rio untuk belajar bersama. Hanya demi kalian, Nak ... ibu rela melakukan apa pun. Semoga Allah memberi rezeki pada kita. Tak terasa air mataku pun menitik. Sedih melihat kedua anakku yang mempunyai ayah tapi tidak pernah merasakan kasih-sayangnya.

Aku ingin seperti istri-istri yang lain, yang dimanja dan diperlakukan dengan baik oleh suami. Mencintai anak-anaknya dan melakukan tanggung-jawabnya sebagai seorang suami dan ayah. Tak perlu hidup mewah, yang penting perhatian dan kasih-sayangnya kepada keluarga. Namun, harapan itu jauh dari Bang Sat yang hanya peduli dan memikirkan dirinya sendiri.

"Jihan sudah bangun, Nak? Ayo sini ... buka bajunya, terus mandi biar seger."

"Iya, Bu ...." 

"Mandinya yang bersih ya, Sayang, pakai sabun biar wangi!" Aku mencium perutnya membuat ia terkekeh kegelian. 

Sementara Jihan mandi, aku menyiapkan baju untuknya lalu membereskan kain setrikaanku. Kumasukkan pakai-pakaian itu ke lemari masing-masing.

Tepat pukul lima, aku melihat Kak Yunidar lewat depan rumahku. Aku dan Jihan pun menyusul ke rumahnya. 

"Baru pulang, Kak?" Sapaku.

"Eh, Ri ... iya, nih. Masuk ...!" Ia mempersilakan kami masuk, kebetulan ia sedang menyapu halaman ketika kami tiba. Wanita, seperti tidak ada lelahnya. Baru saja pulang bekerja dari rumah orang, langsung kerja lagi di rumah sendiri tanpa jeda. 

"Iya, Kak, makasih. Di sini aja. Maaf, Kak, Rianti mau tanya. Kak Nidar sekarang udah kerja, ya?"

"Iya, Ri ... alhamdulillah.

"Apa masih ada lowongan, Kak?" Kucoba memberanikan diri untuk menanyakannya. Walau agak sedikit malu.

"Lowongan, ya? Untuk siapa?"

"Untuk Rianti, Kak ...."

"Oh, kamu mau kerja juga?"

Aku mengangguk.

"Ada sih, Ri ... orang yang nyari asisten rumah tangga, mau?"

"Di mana, Kak? Kerja dari jam berapa sampai jam berapa?"

"Nggak jauh kok dari tempat aku kerja. Masuknya jam tujuh pagi sampai jam enam sore. Gaji satu juta per bulan."

"Oh ...." Aku mengangguk. Sebenarnya tidak masalah, tapi bagaimana Jihan nanti kalau aku tinggal kerja selama itu. Jika setengah hari dia bisa tinggal dengan Zidan saat Zidan sudah pulang sekolah.

"Gimana, Ri, mau?"

"Bukannya nggak mau sih, Kak ... tapi Ri mikirin Jihan."

"Iya, sih ...."

"Kalau misalnya ada kerjaan yang lain tolong kabari Ri ya, Kak ...."

"Oh, iya, Ri nanti aku kabarin."

"Ya sudah, Kak, Ri permisi dulu. Terima kasih ya, Kak ...."

"Iya, sama-sama." Aku dan Jihan pun kembali pulang.

"Ibu mau kerja? Kan Bapak sudah kerja," tanya Jihan tiba-tiba, di tengah perjalanan.

"Iya, Sayang. Boleh kan ibu kerja?"

"Nggak, ah!"

"Loh, kok nggak? Kalau ibu nggak kerja nanti kita nggak punya uang ...."

"Kerja itu kan tugasnya Bapak. Ibu kerjanya di rumah aja masak ...," jawabnya polos.

"Tapi ibu juga harus bantu Bapak cari uang."

"Nggak, ah ... Ibu nggak boleh kerja. Nanti Jihan sama siapa di rumah?" Keningnya mengerut.

"Loh, kan ada Abang Zidan."

"Nggak mau sama Abang Zidan. Jihan maunya sama Ibu." Ia pun menangis. 

"Loh ... kok malah nangis?" Aku berhenti dan memeluknya.

"Jihan nggak mau Ibu kerja! Nanti Ibu kayak Bapak nggak pulang-pulang sampai malem. Jihan takut di rumah." Ia semakin terisak. Aku hanya memeluk erat tubuh mungil itu. Biarlah ia meluapkan emosinya. 

Sendatinya, aku bekerja untuknya juga kakaknya. Tak akan mengurangi rasa cinta dan kasih-sayangku pada mereka. 

"Biar Bapak aja yang kerja ya, Bu ... Ibu jangan!" rayunya lagi.

"Iya ...." Aku mengangguk dan tersenyum padanya. Kuusap air mata yang mengalir di pipi mungil itu dan menciumnya lembut.

"Ya udah, ayo kita pulang, Sayang ... sudah sore."

Jihan mengangguk pelan. Aku menggenggam erat kembali tangan mungil itu dan berjalan beriringan.

Aku mulai gelisah, uang pegangan hanya tinggal sedikit. Sementara persedian dapur juga sudah pada habis. Bagaimana ini ya Allah? Aku benar-benar bingung! Jika aku mengadu pada Bang Sat pasti nanti yang ada malah ribut. Sepertinya aku harus banyak keluar rumah agar dapat informasi tentang lowongan kerja. 

Aku pun segera memandikan Jihan, kalau pagi kadang banyak tingkahnya ini bocah kalau disuruh mandi. Ada saja alasannya. Setelah semua beres, aku mengajak Jihan ke luar, sebelum membeli sayuran ke warungnya Kak Nur, aku mampir ke rumah Kak Sur terlebih dahulu. Biasanya di sana ibu-ibu sering ngumpul sambil menunggu penjual ikan lewat.

Benar saja dugaanku, ada banyak ibu-ibu di sana. Aku jadi malu untuk mampir, tapi sepertinya mereka sedang seru sekali bercerita. Entah apa yang menjadi topik hari ini. Aku pun memberanikan diri untuk bergabung. Awalnya hanya sebagai pendengar budiman. Tak mau menyahut dan menanggapi karena aku memang tidak tahu permasalahannya.

Oh, ternyata mereka sedang membicarakan Kak Nidar ....

"Iya, aku juga pernah lihat kok tuh si Nidar ketemuan sama cowok, sengaja aku klakson biar dia lihat, tapi dicuekin!" ucap seorang tetangga.

"Wah, jadi bener ya tentang berita itu? Ih, nggak nyangka ya, kalem-kalem begitu ternyata doyan laki orang!" celetuk tetangga yang lain yang aku tak tahu siapa namanya. Biasanya orang memanggilnya Mak Epong.

"Ah, biarlah ... bukan urusan kita. Mungkin dia sudah terlalu jengah dengan si Ujang. Kok laki nggak ada tanggung-jawabnya gitu!" Kali ini Kak Surti yang berkomentar.

"Iya sih ... asal bukan sama laki kita aja dia minta-mintanya. Huh, kalau aku sampai tau Bapaknya Natasha main serong, ngasih-ngasih duit sama perempuan, habis dia kuhajar!" Mak Epong menambahi. Serem sekali aku mendengarnya.

Setelah semua bubar Kak Sur baru bercerita padaku tentang Kak Nidar yang dituduh suka meminta-minta uang pada lelaki, suami orang yang kaya dan tampan, karena Bang Ujang tidak pernah mencukupi kebutuhan istri dan anak-anaknya. Sehingga Kak Nidar lah yang harus berjuang mencukupi kebutuhan mereka dengan cara seperti itu. Namun begitu, aku tidak ingin ikut campur urusan mereka. Siapa yang salah dan siapa yang benar hanya Allah yang tahu itu.

***

"Malam ini kita masak mie instan sama telur ceplok aja, ya ...," ucapku pada anak-anak.

"Boleh, Bu ... Jihan suka kok mie sama telur ceplok."

"Zidan juga suka kok, Bu ...."

"Ya udah, kalian bantuin ibu masak ya?"

"Oke!" jawab mereka serentak. Kami pun masak bersama-sama di dapur. Aku benar-benar harus berhemat. Masak seadanya, yang penting bisa makan.

"Hmmm ... sedaaap. Mari makan," ajakku. Anak-anak bersorak. Mereka memang suka sekali mie instan. Namun, aku tidak terlalu sering memberikannya. 

Zidan dan Jihan makan begitu lahap. Aku meninggalkan satu mangkuk mie dan satu buah telur mata sapi untuk Bang Sat mungkin nanti dia lapar pulang bekerja.

"Assalamu'alaikum!" 

"Bapak pulang, Bu ...."

"Iya, Nak, buka pintunya ya."

Zidan dan Jihan berlari ke depan membukakan pintu. Menyambut hangat kepulangan Bapak mereka setelah seharian bekerja.

"Wa'alaikumsalam, Pak ...." Zidan dan Jihan mencium tangan Bang Sat.

"Bapak ayo makan, Jihan sama Bang Zidan dan Ibu sedang makan," ujar gadis kecil itu.

"Emangnya Ibu masak apa? Girang banget!"

"Masak mie sama telur ceplok, Pak ...," jawabnya gembira.

"Mie sama telur ceplok??" 

"Iya, Pak, enak banget!"

"Ri ... suami capek, laper, pulang kerja cuma kamu masakin ini?" teriak Bang Sat, menghampiriku.

"Iya, Bang ... makan yuk. Kebetulan Abang cepat pulang hari ini, bisa makan malam bareng kita." Aku mengambilkan piring dan minum untuk Bang Sat.

"Kamu pikir abang mau makan kayak gini?"

"Loh, memangnya kenapa, Bang? Ini kan enak ... alhamdulillah kita masih bisa membeli ini untuk lauk makan malam kita."

"Kamu aja makan sendiri. Tau gitu abang makan di warung aja tadi!"

"Abang makan enak di warung, sementara kami di rumah hanya makan dengan mie dan telur apa Abang tega?"

"Ya tega lah, kenapa nggak? Yang cari uang juga Abang kan, bukan kalian!

"Astaghfirullah, Bang ... kami ini keluarga Abang, istri dan anak-anaknya Abang. Kami berhak atas rezeki yang Abang miliki."

"Kalau kalian mau makan enak ya kerja dong, kayak abang! Enak aja, Abang yang capek kerja kalian yang enak-enak makan!"

"Ya Allah, Bang ...." Aku mengelus dada. Perih sekali rasanya hatiku mendengar ucapan Bang Sat.

"Kamu itu boros, uang berapa dikasih habis! Masa tiga ratus ribu nggak cukup sebulan? Padahal abang jarang makan di rumah. Keenakan kan kamu, bisa foya-foya! Rugi dong abang ... udah ngasih uang nggak pernah makan di rumah. Sekalinya mau makan masaknya cuma mie sama telur!"

Haruskah aku menjawab perkataannya? Perkataan yang hanya membuat hatiku terluka? Foya-foya katanya? Bahkan selama sepuluh tahun menikah aku tak pernah membeli baju baru. Semua bajuku baju lama sewaktu aku masih gadis.

Selera makanku seketika hilang. Hanya air mata yang ingin aku tumpahkan untuk meluapkan perasaanku agar hatiku sedikit lega. Bukan hanya aku, bahkan Zidan dan Jihan pun ikut merasakan sakitnya hati atas ucapan sang Bapak. 

***

Bang Sat berlalu begitu saja tanpa rasa bersalah. Setelah mandi dan berpakaian rapi ia pergi tanpa permisi. Mungkin ia mau cari makan enak di luar.

"Bapak pergi mana, Bu?" tanya Jihan sembari menatap punggung sang ayah.

"Mungkin ada keperluan, Nak .... Ya udah, cuci kaki sana, terus bobok. Udah Salat, kan?"

"Udah, Bu ...." Ia mengangguk. Wajahnya masih terlihat sendu.

"Zidan juga tidur ya."

"Iya, Bu."

Meski malam ini malam Minggu, tak lantas membuat anak-anak bisa bergadang, menonton televisi hingga larut. 

Aku menemani Jihan tidur hingga terlelap. Tanda sadar, aku mendengar seperti ada suara seseorang yang sedang menangis. Seketika bulu kudukku merinding. Siapa yang menangis malam-malam begini? Ternyata putraku Zidan. Aku mendekatinya, mengelus lembut kepalanya.

"Zidan kenapa menangis, Nak?"

Ia tak menjawab. Hanya terisak, menyeka air mata.

"Zidan lagi sedih, ya? Ibu boleh tau kenapa? Cerita sama Ibu biar hati Zidan sedikit lega ...."

"Zidan benci Bapak, Bu!" 

"Kok Zidan ngomong gitu? Istighfar ... Zidan nggak boleh bicara seperti itu!" Aku tidak suka anakku bicara begitu. Bagaimana pun buruknya Bang Sat, dia adalah ayahnya dan seorang anak tidak patut membenci orang tuanya."

"Bapak jahat! Bapak nggak sayang sama kita."

"Bapak tidak jahat. Tidak ada orang tua yang tidak menyayangi anaknya. Zidan jangan berpikiran seperti itu ya!" tegasku. Aku tidak mau kalau Zidan memiliki rasa itu hingga dia dewasa.

"Bapak selalu buat Ibu sedih. Zidan nggak suka! Ibu selalu berjuang untuk kami. Membanting tulang untuk mencukupi kebutuhan kami. Sementara Bapak setiap hari hanya marah-marah saja kerjanya di rumah." 

"Zidan do'akan Bapak ya, agar Bapak dilembutkan hatinya. Sayang dan perhatian pada kita semua. Sebagai anak Zidan wajib mendo'akan orang tua. Bukan malah membenci! Ibu tidak suka kalau Zidan bicara seperti itu!" 

"Maafkan Zidan, Bu ...." 

"Iya, Sayang, tapi lain kali tidak boleh bicara begitu lagi, ya."

"Iya, Bu."

"Ya sudah, Zidan tidur ya." Aku mencium pucuk kepalanya dan membelainya lembut.

"Iya, Bu." 

Setelah Zidan terlelap, aku pun keluar dari kamar itu. Bermain hape agar tidak merasa jenuh.

Deg! 

Aku tersentak melihat postingan suamiku. Ia memosting sebuah poto tengah makan enak bersama teman-temannya di sebuah caffe. Hati istri mana yang tidak teriris melihatnya? Ketika di rumah hanya makan dengan mie instan dan telur, sementara dirinya makan enak di luar dan memamernya di media sosial. Benar-benar tidak punya hati!

Pukul satu dini hari Bang Sat baru pulang ke rumah. Menyuruhku memasukkan motornya lalu langsung tidur ke kamar. Itu memang sudah menjadi kebiasannya. 

***

"Bang, boleh tidak Rianti minta uang buat belanja? Beras, minyak, sabun dan bumbu-bumbu dapur sudah pada habis ...," ucapku saat mengantarkan segelas kopi untuknya.

"Tidak ada uang!" jawabnya ketus tanpa menoleh ke wajahku.

"Tapi semalam Rianti lihat Abang makan enak di luar dengan teman-temannya Abang."

"Terus kenapa?"

"Di rumah sudah tidak ada apa-apa, Bang ...."

"Bisa nggak sih, kamu itu cari duit? Minta terus kerjaannya!"

"Rianti juga kan ikut cari uang, Bang? Tapi jualannya Rianti lagi sepi."

"Salah sendiri dikasih duit buat belanja malah dipakai buat bayar SPP. Nggak amanah!"

"SPP kan juga penting, Bang ... harus dibayar, kalau tidak Zidan nanti tidak bisa sekolah!"

"Abang sudah ngasih duit, dan tidak ada lagi jatah untuk kamu!"

"Gaji Abang kan gede. Setiap hari Abang makan enak di luar, sementara uang belanja Abang hanya memberi tiga ratus ribu sebulan, mana cukup, Bang!"

"Kamu itu memang tidak tahu bersyukur, ya! Tiga ratus ribu itu udah gede! Lagian ngurus banget duit orang! Yang kerja Abang kok yang sibuk kamu, nggak malu!"

"Astaghfirullah ...."

"Abang bosen di rumah. Nggak pagi, nggak malem, duit ... duit ... duit terus di otak kamu. Kerja malas maunya makan enak!" teriak lelaki itu. Kata-katanya selalu saja menggoreskan luka di hati. Jika bukan padanya, lantas pada siapa lagi aku meminta nafkah uang belanja. 


Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)